![]() |
astakajambi.com |
astakajambi.com,- Ketika dokter-dokter terbaik dipindahkan tanpa alasan transparan, dan kolegium profesi mulai diretas dengan alat-alat kekuasaan, kita tahu ada sesuatu yang sedang tidak beres.
di tengah kebisingan klaim reformasi, ada kesunyian yang mulai terasa mencekam. Sunyi yang tak sebangun dengan ketenangan. Justru, ia adalah gejala dari matinya suara-suara yang selama ini menjaga etika dan integritas profesi.
Kementerian Kesehatan boleh saja mengklaim keberhasilan
program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang katanya sudah menjangkau jutaan warga,
seperti diberitakan banyak situs. Namun apa gunanya deteksi dini, jika para
spesialis yang paling mumpuni justru disingkirkan dari rumah sakit vertikal?
Ketika penyakit jantung kongenital pada bayi dinyatakan sebagai salah satu temuan tertinggi, siapa yang akan merawat mereka setelah dokter jantung anak tersingkir?
Pertanyaan ini bukan tentang ego profesi. Ini tentang publik. Tentang bayi-bayi yang hanya punya satu kesempatan hidup, dan kini kehilangan tangan-tangan terampil yang semestinya menyelamatkan mereka.
Ada nuansa baru dalam cara negara memperlakukan profesi
medis. Paling tidak yang saya baca dan pirsa. Dari berita, atau acara
temu-kata. Bukan sekadar birokratisasi. Ini lebih terasa sebagai fase baru dari
kontrol: kontrol atas independensi, kontrol atas suara kritis, kontrol atas
ilmu.
Gagasan reformasi kolegium yang dilempar ke
publik?"setelah saya mendengar dari sekian narasumber?"ternyata bukan
sekadar salah arah. Secara fundamental, gaya itu bertentangan dengan prinsip
akademik dan hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XXIII/2025 secara
jelas menyatakan bahwa kolegium adalah badan akademik independen. Ia bukan unit
pemerintah. Ia bukan subordinat eksekutif. Ia ada justru untuk menjaga mutu dan
etika, dari intervensi kekuasaan.
Menteri Kesehatan beberapa kali menekankan bahwa negara maju
harus ditopang oleh rakyat yang sehat dan pintar. Kalimat ini terdengar cerdas,
tetapi menyesatkan.
Ketika kementerian mulai mengatur ulang siapa yang duduk di
kolegium, yang sedang dibangun bukan kemajuan, tapi pengkhianatan terhadap
struktur etik yang sudah dirawat puluhan tahun
Sebagaimana ditegaskan Amartya Sen dalam Development as
Freedom (1999), kesehatan adalah bagian dari kebebasan substantif manusia.
Lebih dalam lagi, yang perlu dikritisi adalah paradigma
dasarnya. Kesehatan kini terasa mulai diperlakukan sebagai alat mengejar
pertumbuhan ekonomi, bukan sebagai hak dasar manusia.
Bahkan, jika kita bicara efektivitas, data dari WHO (2023)
menunjukkan bahwa negara-negara dengan alokasi belanja terbesar pada layanan
kesehatan dasar justru mencatat peningkatan produktivitas ekonomi paling
konsisten.
Negara tidak boleh memperlakukan layanan kesehatan sebagai
instrumen pasar atau komoditas. Ketika kesehatan dijadikan alat untuk mengejar
status makroekonomi, maka keadilan sosial terancam hilang dari agenda negara.
Kondisi makin mengkhawatirkan ketika tindakan kedokteran
yang secara keilmuan berada di ranah spesialis kini mulai diwacanakan dapat
dilakukan oleh dokter umum.
Jadi, menggeser pelayanan medis menjadi proyek-proyek
kuratif berbiaya tinggi dengan utang luar negeri bukanlah investasi
cerdas?"itu justru pengabaian terhadap akar masalah.
Yang berwenang menentukan kompetensi bukan birokrasi,
melainkan komunitas ilmiah yang teruji. Kalau kolegium dilemahkan, maka batas
antara praktik aman dan praktik sembarangan akan lenyap.
Dengan dalih kekurangan tenaga dokter spesialis,
prosedur-prosedur besar seperti sectio caesarea, mulai dilirik untuk dialihkan.
Kita ingin bertanya: di mana suara kolegium dalam keputusan-keputusan semacam
ini?
Voltaire pernah mengingatkan, “Those who can make you
believe absurdities can make you commit atrocities.” Mereka yang memaksa kita
mempercayai absurditas pada akhirnya akan membawa kita pada kebengisan.
Dalam narasi yang disebar kementerian, seolah ada upaya
sistematis untuk menampilkan profesi medis sebagai elite yang perlu
"ditundukkan". Seolah-olah kritik dari profesi adalah hambatan
pembangunan. Padahal justru di sanalah benteng terakhir agar pelayanan
kesehatan tetap memihak rakyat.
Kami percaya bahwa reformasi kesehatan adalah kebutuhan.
Tapi bukan reformasi yang mengabaikan etika, bukan yang membungkam kolegium,
bukan pula yang menjadikan tenaga medis sebagai pion dalam permainan politik
anggaran. Indonesia tidak butuh otoritarianisme dalam pelayanan publik.
Dan absurditas itu kini hadir dalam bentuk birokrasi yang
mendikte ilmu, kebijakan yang mengabaikan data, serta keputusan-keputusan yang
mengganti mutu dengan loyalitas.
Kesehatan adalah hak. Bukan komoditas. Dan profesi medis
adalah penjaga kehidupan. Bukan pelayan kekuasaan. Jika negara lupa akan itu,
maka yang sedang dikorbankan bukan hanya etika profesi, tapi juga keselamatan
jutaan warga. sumber : rmol.id (Red : Tazky)